Jumat, 05 Februari 2010

Persoalan Terkait Gorong-gorong

HUJAN-BANJIR, KEMARAU-BAU

Kota Kediri adalah sebuah kota yang terletak di lembah antara Gunung Wilis dan Kelud. Tepat di tengahnya, ia dibelah oleh sebuah sungai Brantas; sungai yang konon merupakan yang terlebar di Pulau Jawa.

Secara umum kota ini merupakan sebuah kota yang datar. Ia praktis tidak memiliki lekukan atau gundukan di bentang jalan-jalan yang dipunyainya. Sedikit daerah berbukit di sebelah barat kota, karena merupakan daerah yang sedikit terisolasi, maka kurang berpengaruh pada keseluruhan kesan jalan yang ada.

Sebagaimana umumnya kota-kota di Jawa, Kota Kediri pun merupakan sebuah kota kolonial. Tata kotanya dibuat sedemikian rupa sehingga blok-bloknya kurang-lebih sama dengan kota-kota kolonail lainnya. Beberapa bangunan khas kolonial yang bisa dengan mudah kita jumpai di seantero kota seakan menjadi bukti bahwa desain yang dimilikinya merupakan desain kolonial.

Namun ada yang terasa kurang lengkap dengan sebutan tersebut. Agak berbeda dengan kebanyakan kota kolonial lainnya, Kota Kediri kurang memiliki bukti (pen. entah karena memang tidak ada, ditimbun atau malah dihancurkan) tentang adanya drainase-drainase khas kolonial. Kota ini seakan dibangun secara tidak lengkap atau tidak tuntas.

Maka maklumlah jika, berbeda dengan kebanyakan kota kolonial lainnya, Kota Kediri cenderung sering direpotkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan drainase. Pada musim hujan, di beberapa jalan nampak saluran air yang tidak kuasa menampung limpahan air. Genangan air dan banjir terjadi di mana-mana. Sementara di musim kemarau, karena sistem drainase yang tidak lancar atau bahkan kehabisan air menjadikan sampah atau kotoran yang ada di dalamnya menguarkan bau yang tidak sedap.

Sampai sejauh ini, persoalan semacam itu praktis belum teratasi. Dengan menahan diri, masyarakat menunggu kapan pemerintah daerah bertindak secara fundamental dan tuntas.

Kamis, 04 Februari 2010

Wawasan dari Jaman Lampau

Strategi Jitu Warisan Belanda

Jakarta - Dari sudut geomorfologis, Jakarta amat rentan terhadap ancaman banjir. Selain berada di dataran rendah, bahkan lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta merupakan daerah aliran 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran 13 sungai juga menyebar merata di semua wilayah Jakarta. Di Jakarta bagian timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang. Di bagian tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Di barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke. Tingginya curah hujan juga memberi sumbangan yang signifikan terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Demikian pula, ketidakdisiplinan pemerintah dan masyarakat memelihara lingkungan, melanggar tata ruang langsung maupun tak langsung ikut andil bagi terjadinya banjir. Dalam sejarah, beberapa kali banjir melanda Jakarta dan merenggut korban jiwa dan harta benda penduduk. Di antaranya, tahun 1621, 1654, 1918 semasa pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan dalam beberapa dekade terakhir, banjir cukup besar terjadi tahun 1976 dan 1996, menelan puluhan korban jiwa. Ironisnya, meski banjir bagi Jakarta sudah menjadi ancaman tahunan, namun belum ada langkah strategis untuk mengatasinya secara terpadu dan menyeluruh. Yang tampak hanya pendekatan kuratif situasional dan sesaat. Bahkan kalau muncul gagasan-gagasan preventif, sifatnya cenderung parsial. Kenyataan ini jelas amat berbeda dengan sikap penguasa kolonial Belanda yang menaruh perhatian serius terhadap upaya pencegahan banjir. Sebagaimana tampak pada konsep yang disusun Prof H van Breen dan kawan-kawannya. Bahkan lebih dari itu, buah pikiran van Breen dan kawan-kawan, hingga kini masih relevan untuk dijadikan acuan bagi upaya pencegahan banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Seperti ditulis oleh Sekretaris Lembaga Studi Sosial, Lingkungan dan Perkotaan (LS2LP) Jakarta, Paulus Londo, pada harian Kompas. Van Breen ditugaskan oleh Departement Waterstaat memimpin 'Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir' secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 Ha. Penugasan itu diterimanya setelah Kota Batavia di tahun 1918 (sebutan untuk Jakarta saat itu) terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa. Setelah mempelajari dengan saksama berbagai aspek penyebab banjir, Van Breen dan Tim menyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler saat itu. Tak dapat disangkal, prinsip-prinsip pencegahan banjir itu lalu dijadikan acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta. Konsep Van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai "Banjir Kanal Barat" yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Penetapan Manggarai sebagai titik awal karena saat itu, wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal itu mulai dibangun tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal dilengkapi beberapa "Pintu Air", antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota. Konsep H van Breen lalu menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta yang ada di luar area banjir kanal, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Celakanya, akibat keterbatasan dana, Pemerintah Daerah hampir tak berdaya mengatasinya. Pemerintah pusat pun turun tangan. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk "Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta", disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Dalam mengatasi banjir, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun H van Breen dan kawan-kawan. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain: (a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya; (b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur; (c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman. Ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta menyusun Rencana Induk Jakarta tahun 1966-1988. Salah satu bagian penting dari rencana induk itu adalah Rencana Tata Ruang Kota Jakarta. Rencana Tata Ruang Kota ini lalu dijadikan acuan dalam penyusunan Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan tahun 1973 (karenanya disebut Master Plan 1973). Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep Herman van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan. Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam Master Plan 1973, sebagaimana tercermin pada langkah-langkah: (a) Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai "Cengkareng Drain"; (b) Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai "Cakung Drain", untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga "banjir kanal", masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota. Sayang langkah-langkah itu belum juga mampu mengatasi ancaman banjir rutin setiap tahun. Bahkan intensitas ancamannya cenderung meningkat, setidaknya terlihat pada perkembangan luas area genangan di musim hujan. Karena itu, setelah melewati proses evaluasi, Master Plan 1973 akhirnya dimodifikasi. Sebab harus menyesuaikan dengan perkembangan kota, pelaksanaannya pun sering menghadapi kendala tingginya biaya pembebasan tanah. Konsep hasil modifikasi itu lalu dikenal sebagai Modifikasi Master Plan 1981. Hal-hal pokok dalam konsep modifikasi ini antara lain adalah: (a) Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke; (b) Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah; (c) Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol; (d) Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart; (e) Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa); (f) Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali. Dalam menyusun konsep H van Breen dan kawan-kawan, tampak sadar bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah hulu, dibangun dua bendungan yakni, Bendungan Katulampa di Ciawi, dan Bendungan Empang di hulu Sungai Cisadane. Untuk mengalirkan air dari Bendungan Katulampa dibangun saluran yang kini dikenal sebagai saluran Kalibaru Timur yang letaknya sejajar dengan ruas Jalan Raya Bogor. Saluran ini bermuara di Kali Sentiong dan berakhir di Muara Ancol. Sedangkan untuk aliran air dari Bendungan Empang dibangun saluran Kalibaru Barat yang letaknya sejajar dengan Jalan Citayem-Depok-Lenteng Agung hingga Jalan Saharjo, dan bermuara di Banjir Kanal dekat Pintu Air Manggarai. Ini menunjukkan betapa keseriusan Pemerintah Kolonial Belanda menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir. Dan hal ini mereka tunjukkan melalui langkah-langkah fundamental hingga masih terasa relevan hingga saat ini. (Djoko Tjiptono - detikNews)

Kabar-kabur dari PEMKOT

PERENCANAAN ULANG SISTEM DRAINASE KECAMATAN KOTA, KOTA KEDIRI
REDESIGN OF THE DRAINAGE SYSTEM IN DISTRICT OF KOTA CITY OF KEDIRI

Created by :Srifatunningsih ( )

Subject: Saluran air
Keyword: BanjirKecamatan KotaKota KediriSaluran

[ Description ]
Data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Kediri menunjukkan bahwa daerah pusat Kota Kediri yaitu kecamatan Kota setiap tahun selalu terjadi banjir dengan durasi 15 รข€“ 45 menit dan tinggi banjir sampai 45 cm. Merujuk pada kondisi tersebut, maka diperlukan perencanaan ulang sistem drainase di Kecamatan Kota. Penelusuran penyebab banjir dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi eksisting dan limpasan rencana. Hasil dari evaluasi digunakan untuk merencanakan dan mengusulkan sistem pengendalian banjir yang optimal. Penyebab terjadinya banjir terletak pada saluran drainase kurang memadai dan kontur daerah yang terlalu datar. Hal ini semakin parah dengan keadaan gorong-gorong pada beberapa rel kereta api yang memiliki dimensi kecil jika dibandingkan dengan dimensi saluran drainasenya. Hasil dari evaluasi adalah mengusulkan perbaikan dan perubahan dimensi pada beberapa saluran dan gorong-gorong.Alt.

Description
Data from the Department of Public Worh of Kediri, showes that flood at Kota district occurs annually, The retention lastest5 - 45 minutes with 45 cm depth. Therefore redesign of the drainage system In district of Kota are needed. The cause of flood was identified by evaluation the existing condition of the drainage channel . The result of the evaluation are used for new drainage channel in order to control the flood. It was found tahat flood was caused by in eduquate drainage system and the flat elevation.Moreover, the drainage of box culvet under the train track was also too small compared to its upstream channel. From the evaluation. It is suggested to improve andchange the dimension of same channel and box culvets.
Contributor : Ir. DIDIK BAMBANG S, MT
Date Create : 06/03/2009
Type : Text
Format : pdf.
Language : Indonesian
Identifier : ITS-Undergraduate-3100008032672
Collection ID : 3100008032672
Call Number : RSL 627.54 Sri p
Source : Undergraduate Theses of Evironmental Engineering, RSL 627.54 Sri p, 2008Coverage : ITS Community OnlyRights : Copyright @2008 by ITS Library. This publication is protected by copyright and permission should be obtained from the ITS Library prior to any prohibited reproduction, storage in a retrievel system, or transmission in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or likewise. For information regarding permission(s), write to ITS Library

Masih dari Malang

Problemnya Tetap Gorong-gorong
Banjir di Jalan Ciliwung-Pandean

MALANG – Gorong-gorong dan saluran air menjadi permasalahan klasik yang dihadapi Kota Malang. Ironisnya hingga kini belum ada penyelesaiannya secara terintegral. Akibatnya, saat hujan deras di beberapa wilayah sering terjadi banjir yang cukup tinggi dan dapat mengganggu arus lalu lintas. Seperti yang terjadi di perempatan Jalan Ciliwung-Pandean Jumat (25/12) lalu.Sekretaris Komisi C DPRD Kota Malang Sutiaji mendesak agar Pemkot Malang memiliki sistem yang terintegral dalam mengatasi permasalahan gorong–gorong dan saluran air yang ada di Kota Malang. Selama ini, permasalahan saluran air hanya diatasi secara parsial, tidak tersistematik.“Kami sudah pernah menyampaikannya saat rapat di Komisi C, begitu juga dalam pandangan fraksi kami. Karena permasalahan gorong-gorong dan saluran air di Kota Malang sudah berlarut-larut,” kata Sutiaji kepada Malang Post kemarin.Karena ditangani secara parsial, banjir dan genangan air sering kembali terjadi saat hujan deras mengguyur Kota Malang. Selain di perempatan Jalan Ciliwung-Pandean, anggota FKB itu menyebutkan beberapa kawasan yang sering menjadi langganan banjir dan genangan air tinggi. Antara lain, Jalan Galunggung, depan Pesantren Gading, Klaseman, Tidar dan Jalan Gajayana dan beberapa kawasan lainnya.“Di jalan Galunggung misalnya, ketinggian air bisa lebih dari 50 centimeter. Sampai mobil pun tidak berani untuk melalui jalan itu. Padahal di daerah itu sering kali terjadi banjir dan genangan air yang cukup tinggi, tapi belum ada penyelesaiannya,” ungkapnya.Gorong-gorong yang dibuat Belanda dulu, bisa diterapkan dalam sistem drainase atau saluran air di Kota Malang. Dengan gorong-gorong yang besar di bawah tanah akan mampu menjadi saluran air besar yang dapat mengalirkan air-air dari semua saluran air yang ada. “Kejadian lalu dapat menjadi pelajaran bagi Pemkot Malang untuk dapat menyusun secara sistematik saluran air di Kota Malang. Sudah waktunya ada sistem gorong-gorong yang sistematik di Kota Malang. Miris sebagai kota yang berada di dataran tinggi tapi masih sering terjadi banjir atau genangan air yang tinggi,” ujarnya.Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Pemkot Malang berusaha untuk mencari blue print gorong-gorong atau saluran drainase yang dibangun di Kota Malang pada zaman Belanda lalu. Pencarian hingga ke negara Belanda, tapi belum juga ada hasilnya. Rombongan wali kota yang datang ke Belanda pada September lalu, juga belum dapat menemukannya. Meski sudah menelusuri ke berbagai perguruan tinggi tua di negeri kincir angin itu. (aim/lim)

Pelajaran dari Malang

Pemkot Malang Berburu Dana Hibah dari Belanda untuk Benahi Drainase

Masalah drainase di Kota Malang akan segera teratasi. Pemkot Malang akan mendapatkan dana hibah yang cukup besar dari pemerintah Belanda untuk pembenahan sanitasi itu.
Hal itu dibenarkan Wali Kota Malang, Peni Suparto. Menurutnya, saat ini Pemkot Malang tengah mengurus semua persyaratan dana hibah yang akan diberikan pemerintah Belanda untuk Pemkot Malang.“Untuk menerima dana hibah itu, saya diminta untuk ke Nederland (Belanda) untuk bertemu langsung pemerintah Belanda yang akan memberikan dana hibah bagi sanitasi di Kota Malang.” Kata Inep, sapaan akrab Peni Suparto kepada Malang Post kemarin.
Rencananya, dalam pekan ini juga ia akan terbang ke Belanda. Hanya saja, Inep belum dapat menyampaikan berapa besarnya dana hibah yang akan diterima dari Belanda untuk perbaikan dan pembenahan sanitasi.
Dari analisanya, dana hibah itu terkait dengan desain sanitasi di Kota Malang yang dulu dibangun zaman kolonial Belanda. Dari desain sanitasi yang dibangun di Kota Malang, diprediksi sampai 2010. Karena masa desain santisai itu akan segera habis, pemerintah Belanda siap untuk mengucurkan dana untuk pembenahan sanitasi yang ada di Kota Malang.
“Itu hanya analisa saya, sesuai dengan desain sanitasi yang dibangun Belanda pada saat itu,” ungkapnya.
Dengan adanya kucuran dana hibah dari Belanda, saat hujan yang akan datang, tidak ada lagi daerah-daerah yang tergenang air. Karena semua sanitasi, khususnya yang menjadi peninggalan Belanda sudah dapat dibenahi dan diperbaiki.
“Soal bagaimana konsepnya, nanti akan ada pembicaraan dengan pemerintah Belanda. Mungkin saja ada konsep-konsep baru terkait dengan sanitasi yang ada di Kota Malang,” terangnya.
Seperti diketahui, secara fisik, perencanaan kota di Indonesia (termasuk kota Malang) pada zaman penjajahan Belanda dirancang oleh arsitek Belanda Thomas Karsten . Ia sangat memperhatikan masalah fisik kota dan memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan masalah sanitasi kota dan di kawasan kampung.
Sebelumnya, Pemkot Malang pernah memburu blueprint riol (gorong-gorong) Kota Malang zaman kolonial langsung ke Belanda. Secara umum kondisi drainase dan sanitasi di Kota Malang terutama pada saluran drainase tertutup, sebagian besar sudah cukup tua peninggalan jaman penjajahan Belanda.
Kondisinya banyak mengalami penurunan kualitas seperti terjadinya penyumpatan dan tidak berfungsinya manhole sebagi street inlet. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan bagi penduduk dan pengguna jalan apabila terjadi genangan air akibat peningkatan intensitas curah hujan. Seperti Riol peninggalan Belanda di kawasan sekitar Jl Ijen itu konon kedalamannya setinggi orang lebih., riol itu sudah kena cor bangunan sehingga tersumbat.(aim/eno/malangpost)

Pelajaran dari Medan

Kota Medan Di Desain Anti Banjir

Medan ( Berita ) : Pemerintah kolonial Belanda mendesain Kota Medan anti terhadap banjir, ini dibuktikan dengan keberadaan riol-riol bawah tanah yang dibangun dengan ruang yang cukup besar pada masa itu.
Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phill Ichwan Azhari, di Medan, Selasa [27/10] , mengatakan, pemerintah Belanda memiliki “planing” atau rencana jangka panjang yang cukup matang dalam membangun Kota Medan.
Berbicara pada dialog interaktif refleksi dan eksistensi pemuda “81 Tahun Sumpah Pemuda Menuju Reformasi Bangsa” di Unimed, ia mengatakan, matangnya planing tersebut tidak terlepas dari perkiraan bahwa mereka akan tetap berkuasa di Indonesia, sehingga pembangunan dapat dipergunakan oleh anak cucu mereka kelak.
Salah satu bukti yang dapat dilihat adalah pembangunan gedung-gedung yang kokoh dan juga mendesain pembangunan Kota Medan anti terhadap banjir dengan daya tahan hingga 200 tahun.
Misalnya di depan rumah Tjong Afie di Jalan Ahmad Yani, terdapat riol-riol bawah tanah yang cukup besar tempat pembuangan air baik limbah rumah tangga maupun air hujan.
Namun sayangnya pada masa Jepang masuk ke Medan riol-riol raksasa tersebut digunakan untuk keperluan lain seperti tempat penyimpanan logistik perang, persembunyian tentara Jepang dan tempat pembuangan mayat korban perang.
“Sampai sekarang riol-riol tersebut masih dapat ditemukan keberadaannya namun sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana tujuan awal pembuatannya. Jadi dengan adanya riol-riol raksasa itu, Medan memang pada awalnya di desain anti banjir,” katanya.
Namun yang menjadi pertanyaan mengapa Medan selalu mengalami banjir, menurut dia, banjir tersebut terjadi lebih disebabkan ulah manusia yang membuang sampah sembarangan hingga mengakibatkan parit-parit tersumbat.
“Logikanya di tengah-tengah Kota Medan ini ada beberapa sungai yang cukup besar yakni Sungai Deli, Babura dan Denai. Banjir yang datang itu bukan air sungai yang melimpah tetapi air yang tidak dapat mengalir ke sungai,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Medan Syamsul Bahri, mengatakan, persoalan-persoalan banjir yang terjadi di Kota Medan tidak terlepas dari kurang disiplinnya masyarakat.
“Kalau masyarakat tidak membuang sampah ke parit-parit, tidak akan membuat air parit melimpah ke badan jalan dan akibat lainnya adalah jalan akan menjadi cepat rusak. “Aspal itu musuh utamanya adalah air. Jadi kalau aspal sempat terendam air daya tahannya akan cepat berkurang,” ucapnya. ( ant )

Sepupu Gorong-gorong

Selokan
Selokan adalah saluran untuk menyalurkan air pembuangan dan/atau air hujan untuk dibawa ke suatu tempat agar tidak menjadi masalah bagi lingkungan dan kesehatan. Selokan umumnya terdapat di pinggir jalan, didesain untuk mengalirkan kelebihan air hujan dan air permukaan dari jalan raya, tempat parkir, sisi jalan, dan atap.
Besarnya selokan dihitung atas dasar curah hujan tertinggi, aliran air buangan ataupun air tanah (khususnya didaerah pegunungan), ataupun dari waduk untuk mengalirkan air keperluan irigasi. kalau kekecilan dapat mengakibatkan air dari selokan meluap keluar dari selokan bahkan dapat mengakibatkan banjir[1]. Agar air dalam selokan dapat berjalan dengan lancar perlu dilakukan perawatan selokan secara reguler untuk membuang aliran air dari sampah.
Selokan permukaan jalan
Berfungsi untuk mengalirkan air dari permukaan jalan pada saat hari hujan serta agar air tidak menggenangi jalan. Air yang menggenangi jalan atau bahu jalan akan mempercepat kerusakan jalan. Oleh karena itu drainase permukaan jalan merupakan hal yang harus diperhatikan dan dirawat secara reguler.
Sistem drainase permukaan terdiri dari: Kemiringan atau superelevasi jalan, Selokan samping
Gorong-gorong dan Saluran penangkap.